Kamis, 06 Februari 2014

Siddhārtha Gautama; Sang Buddha


Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo. Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama. Dia kemudian menjadi sang Buddha (orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni (orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha.






--------------------

Siddhartha Gautama, Sang Buddha


Oleh: Asnawin Aminuddin

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"). Dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna).

Versi lain mengartikan Sang Buddha sebagai "Ia Yang Telah Sadar", sebagai penemu dan pengajar ajaran yang juga disebut dengan Buddha Dhamma (Ajaran Buddha).

Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha.

Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti. Sebagian besar sejarawan dari awal abad ke-20, memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM.

Pada suatu simposium para ahli akan masalah ini, sebagian besar dari ilmuwan yang mengemukakan pendapatnya memperkirakan, Siddhartha Gautama meninggal dunia sekitar tahun 400 SM.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha. Keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha, dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya.

Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."

Anak Raja

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Kelahiran
Ratu Mahā Māyā Dewi atau Ratu Mahāmāyā, ratu utama dari Raja Suddhodana – raja dari kerajaan suku Sākya (Sokyā, Sakka, Sākiyā), yang sedang mengandung dengan usia kehamilannya sudah mencapai sepuluh bulan, melakukan perjalanan dari Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu) menuju Devadaha, kota tempat tinggal ayahnya, Raja Añjana – raja dari kerajaan suku Koliyā, untuk melakukan persalinan di sana.

Saat itu, hari bulan purnama, di bulan Vesākha (baca: Wesakha), tahun 623 Sebelum Era Umum (secara konsensus sejarawan awal abad ke-20 menetapkan tahun 563 SEU) atau tahun 80 Sebelum Era Buddhis (SEB).

Dalam perjalanan tersebut, Ratu Mahāmāyā yang juga dikenal dengan nama Māyādevī, bersama rombongan kerajaan melewati Taman Lumbini, sebuah hutan pohon sāla (Latin: Shorea robusta) – tempat wisata yang terletak di antara Kapilavatthu dan Devadaha, di Nepal Selatan. Saat itu semua pohon sāla di hutan tersebut sedang berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Melihat keindahan taman tersebut, Ratu Mahāmāyā memutuskan untuk beristirahat dan berjalan-jalan di dalamnya.

Ketika Sang Ratu berjalan-jalan melihat Taman Lumbini, ia menghampiri sebatang dahan pohon sāla yang merunduk dengan bunga yang sedang merekah. Pada saat berdiri dan memegang dahan pohon sāla, ia merasakan tanda-tanda kelahiran dan para pelayannya segera membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai. Demikianlah, dengan posisi berdiri dan berpegangan pada dahan pohon sāla tersebut Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang pangeran, Sang Bodhisatta (Calon Buddha).

Pada hari yang sama, lahir pula: Putri Yasodharā yang kelak menjadi istri Sang Pangeran, Pangeran Ānanda yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha, Channa (Sanskerta: Chandaka) yang kelak menjadi kusir Sang Pangeran, Kanthaka yang kelak menjadi kuda Sang Pangeran, Menteri Kaludayi yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Pohon Pippala atau disebut Pohon Bodhi (Latin: Ficus Religiosa), dan munculnya empat jambangan harta (Pali: Nidhikumbhi).

Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit. Yang satu dingin, sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak, dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Setelah melahirkan, Ratu Mahāmāyā membawa Sang Pangeran kembali ke Kota Kapilavatthu diiringi oleh para penduduk dari kedua kota, Kapilavatthu dan Devadaha.

Ramalan Para Pertapa

Kelahiran Sang Pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang pertapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kāladevala yang merupakan guru pribadi raja. Pertapa Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana di ibu kota Kapilavatthu untuk melihat pangeran kecil tersebut.

Ketika pertapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Manusia Agung (Mahāpurisa) pada bayi tersebut, ia memberikan penghormatan kepada-Nya.

Melihat sang guru kerajaan yang seharusnya mendapatkan penghormatan dari seluruh rakyat kerajaan termasuk raja, tetapi justru memberi penghormatan kepada Sang Pangeran,  Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.

Setelah itu, pertapa Asita tertawa gembira dan bahagia, sebab Pangeran kelak akan menjadi seorang Buddha. Tetapi kemudian ia menangis dan bersedih, sebab usianya yang sudah tua membuat ia tidak bisa menunggu bayi tersebut dewasa hingga menjadi seorang Buddha dan mengikuti ajaran-Nya.

Mendengar ramalan tersebut, Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah: orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa.

Upacara Pemberian Nama

Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka. Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.

Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh Pangeran, tujuh di antara mereka yaitu Rāma, Dhaja, Lakkhanā, Jotimanta (Jotimantī), Subhoja (Bhoja), Suyāma, dan Sudatta memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi pertapa.

Tetapi Kondañña (Yañña), salah satu dari kedelapan brahmana itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini akhirnya diterima oleh semua brahmana.

Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa setelah ia melihat empat penampakan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa.

Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhattha (Sanskerta: Siddhartha) yang berarti “yang berhasil mencapai tujuannya”, dan dengan nama keluarga Gotama (Sanskerta: Gautama).

Wafatnya Ratu Mahāmāyā

Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha, Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga istri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil.

Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Mahāpajāpatī Gotamī melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda).

Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri, Pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.

Setelah Ratu Mahāmāyā wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Māyādevaputta (Santusita) di surga Tusita .

Masa Kecil

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai. Dia selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.

Jika ada pelayan atau dayang-dayang yang sakit, maka orang itu tidak diijinkan tinggal di istana dan akan digantikan oleh orang lain. Sang pangeran dikenakan beraneka ragam perhiasan, kalung bunga, minyak wangi dan pernak-pernik yang semerbak. Tutup kepala, jubah, dan mantel-Nya, seluruhnya didatangkan dari Negara Kasi.

Untuk menyenangkan hati Pangeran Siddhattha, Raja Suddhodana membuatkannya tiga kolam teratai di istananya, yaitu Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala), Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma), dan Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika).

Suatu hari, Kota Kapilavatthu mengadakan perayaan musim tahunan yang disebut dengan Perayaan Bajak Tanah. Raja Suddhodana mengajak pergi Pangeran Siddhattha yang telah berusia beberapa tahun ke perayaan tersebut. Dan Raja pun turut membajak bersama-sama dengan para petani.

Pada saat perayaan yang berlangsung meriah, para pengasuh yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa sangat tertarik dengan jalannya perayaan tersebut. Mereka ingin menyaksikannya dan akhirnya meninggalkan Pangeran di bawah bayangan pohon jambul (Latin: Eugenia Jambolana).

Pada saat itu, suasana di sekitar pohon jambul tesebut menjadi tenang dan sepi sehingga sesuai untuk meditasi. Pangeran kecil pun duduk bersila dan melakukan meditasi dengan konsentrasi memperhatikan masuk-keluarnya nafas (Pali: ānāpāna bhāvanā).

Ketika para pengasuh kembali, mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi, dan dengan cepat mereka melaporkannya kepada Raja. Raja dengan diiringi oleh para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut.

Mereka menyaksikan Pangeran sedang duduk bermeditasi dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang datang memperhatikannya. Hal itu terjadi karena pada saat itu Pangeran berada dalam keadaan Jhāna, yaitu keadaan dimana kesadaran sedang berkonsentrasi secara penuh. Melihat hal itu Raja memberi hormat untuk kedua kalinya kepada putranya tersebut.

Rajin dan Pandai

Ketika Pangeran Siddhattha berusia tujuh tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama.

Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedāṅga yang terdiri dari ilmu fonetik (śikṣā), upacara keagamaan (kalpa), tata bahasa (vyākaraṇa), ilmu tafsir kata (nirukta), ilmu metrum persajakan (chandas), dan ilmu perbintangan (jyotiṣa).

Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruan-Nya.

Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.

Sang Pangeran tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

Welas Asih

Sifat welas asih Pangeran Siddhattha tercermin dalam kehidupan sehari-hari-Nya seperti menghentikan dan menasihati seorang pelayan-Nya yang sedang memukuli seekor ular dengan tongkat.

Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong angsa tersebut. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.

Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut. Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke mahkamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut.

Setelah diajukan ke mahkamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”

Menikah

Kekhawatiran Raja Suddhodana terhadap apa yang dikatakan oleh Petapa Asita dan terhadap ramalan Brahmana Kondanna mengenai Pangeran Siddhattha, berusaha membuat putranya tersebut merasa nyaman dan bahagia.

Segala hal-hal yang buruk dijauhkan dari diri putranya termasuk hal-hal mengenai sakit, tua, mati, dan pertapa. Selain itu, raja juga membangun tiga buah istana untuk putranya pada setiap musimnya, yaitu Istana Ramma untuk musim dingin, Istana Suramma untuk musim panas, Istana Subha untuk musim hujan.

Pada saat itu, tahun 607 SEU (547 SEU) atau tahun 64 SEB, Pangeran Siddhattha berusia enam belas tahun. Ia tumbuh sebagai seorang pria muda yang tampan dan perkasa. Dan perangai-Nya yang suka merenung serta welas asih-Nya yang tanpa batas semakin jelas.

Hal ini sangat membuat raja khawatir dan memanggil para penasihat istana untuk menemukan jawaban agar sang pangeran tetap mewarisi singgasananya daripada menjadi seorang Buddha. Dan akhirnya diputuskan untuk mencari gadis tercantik dan menikahkannya dengan pangeran.

Kemudian Raja Suddhodana memerintahkan untuk mengirim berita kepada delapan puluh ribu kerabat Sakya-nya dan meminta mereka untuk memperkenankan putri-putri mereka untuk datang ke istana agar pangeran dapat memilih salah satunya sebagai istri.

Berita pemilihan istri tersebut ditanggapi negatif oleh para pangeran Sakya yang beranggapan bahwa Pangeran Siddhattha tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ksatria dan seorang pengecut yang tidak memiliki kemampuan seni bela diri dan seni berburu untuk melindungi dan mencari nafkah keluarganya kelak.

Menanggapi hal ini Raja Suddhodana merasa sangat tersinggung dan menemui putranya, serta menceritakan permasalahannya. Pangeran lalu berkata bahwa Ia akan mempertunjukkan kemahiran-Nya dalam pertandingan apapun, termasuk panahan di hadapan semua pangeran dan putri Sakya.

Dalam pertandingan, Pangeran Siddhattha akhirnya dapat mengalahkan semua lawannya dalam segala pertandingan. Dengan ini para pangeran dan putri Sakya akhirnya bergembira mengetahui hasilnya, sekaligus merasa tegang siapa yang akan dipilih pangeran untuk menjadi istri-Nya. Akhirnya pilihan Pangeran Siddhattha jatuh pada Putri Yasodharā, sepupu-Nya yang cantik, putri dari Raja Suppabuddha dari kerajaan Koliya dan Ratu Amita, saudara perempuan Raja Suddhodana.

Masa Dewasa

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal.

Untuk itu, Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Melihat Orang Tua

Pada tahun 535 S.E.U (595 S.E.U) atau tahun 52 S.E.B, memasuki usia-Nya yang kedua puluh delapan tahun, Pangeran Siddhattha tidak lagi merasa senang akan segala kemewahan dan hiburan di sekeliling-Nya. Ia menjadi jenuh dan ingin melihat dunia luar. Ia merasa penasaran untuk mengetahui kehidupan rakyat dan hal-hal di luar tembok istana.

Setelah mendapatkan ijin dari ayah-Nya, Ia akhirnya keluar istana ditemani oleh Channa, kusir-Nya. Orang-orang ramai berdiri di kedua sisi jalan dan menyambut-Nya dengan hangat. Semuanya terasa semarak dan indah karena telah diperintahkan oleh raja untuk menyingkirkan hal-hal yang buruk dari tempat yang akan dilalui oleh pangeran.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihat-Nya itu.

Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota.

Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.

Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.

Melihat Orang Sakit

Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya.

Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.

Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan.

Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam.

Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa.

Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu.

Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.

Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.

Melihat Orang Mati

Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.

Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.

Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya.

Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodharā, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”

Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.

Melihat Pertapa

Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota. Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya.

Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana.

Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.

Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa orang itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga.

Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan perihal dirinya.

Setelah pangeran mendengar penjelasan perihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.

Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua, dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!"

Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Lahirnya Rahula

Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodharā telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan.

Mendengar kabar ini, Pangeran yang ketika itu berusia 29 tahun, justru bersedih hati dan berujar: “Rāhu jāto, bandhanam jātam” (“Sebuah ikatan telah lahir, sebuah belenggu telah muncul!”).

Kelahiran putra-Nya tersebut dianggap merupakan halangan karena kecintaan-Nya kepada keluarga dan anak-Nya yang baru lahir tersebut akan menimbulkan kemelekatan yang akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan.

Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama cucunya tersebut dengan nama “Rāhula”, yang berarti  “ikatan”.

Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu, Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit, dan mati.

Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya.

Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Masa Pengembaraan

Di dalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya.

Pertapa Gautama kemudian sadar bahwa dengan cara bertapa seperti itu, dirinya tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.

Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana.

“Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.”

Demikian nasehat tersebut. Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama.

Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya: "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama. Hampir saja beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM).

Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran ajaran Buddha

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya.

Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Ajaran Buddha

Saat dia wafat, tahun 483 sebelum Masehi, sudah ratusan ribu pemeluk ajarannya. Meskipun ucapan-ucapannya masih belum ditulis orang tapi petuah-petuahnya dihafal oleh banyak pengikutnya di luar kepala, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat mulut semata.

Pokok ajaran Buddha dapat diringkas di dalam apa yang menurut istilah penganutnya "Empat kebajikan kebenaran."

Pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia. Kedua, sebab-musabab ketidakbahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelenggu oleh nafsu.

Ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis bilamana segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Buddha disebut nirvana.

Keempat, menimbang benar, berpikir benar, berbicara benar, berbuat benar, cari nafkah benar, berusaha benar, mengingat benar, meditasi benar. Dapat ditarnbahkan Agama Buddha itu terbuka buat siapa saja, tak peduli dari ras apa pun dia, (ini yang membedakannya dengan Agama Hindu).

Beberapa saat sesudah Gautama wafat, agama baru ini merambat pelan. Pada abad ke-3 sebelum Masehi, seorang kaisar India yang besar kuasa bernama Asoka menjadi pemeluk Agama Buddha. Berkat dukungannya, penyebaran Agama Buddha melesat deras, bukan saja di India tapi juga di Birma. Dari sini agarna itu menjalar ke seluruh Asia Tenggara, ke Malaysia, dan Indonesia.

Angin penyebaran pengaruh itu bukan cuma bertiup ke selatan melainkan juga ke utara, menerobos masuk Tibet, ke Afghanistan dan Asia Tengah. Tidak sampai situ. Dia mengambah Cina dan merenggut pengaruh yang bukan buatan besarnya dan dari sana menyeberang ke Jepang dan Korea.

Sedangkan di India sendiri agama baru itu mulai menurun pengaruhnya sesudah sekitar tahun 500 Masehi malahan nyaris punah di tahun 1200. Sebaliknya di Cina dan di Jepang, Agama Buddha tetap bertahan sebagai agama pokok. Begitu pula di Tibet dan Asia Tenggara agama itu mengalami masa jayanya berabad-abad.

Ajaran-ajaran Buddha tidak tertulis hingga berabad-abad sesudah wafatnya Gautama. Karena itu mudahlah dimaklumi mengapa Agama itu terpecah-pecah ke dalam pelbagai sekte. Dua cabang besar Agama Buddha adalah cabang Theravada-pengaruhnya terutama di Asia Tenggara dan menurut anggapan sebagian besar sarjana-sarjana Barat cabang inilah yang paling mendekati ajaran-ajaran Buddha yang asli-. Cabang lainnya adalah Mahayana, bobot pengaruhnya terletak di Tibet, Cina dan juga di Asia Tenggara secara umum.

-------------------
Sumber referensi:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama
- http://bhagavant.com/studi/kelahiran-dan-kehidupan-istana-pangeran-siddhattha/
- http://bhagavant.com/home.php?link=sejarah&tipe=riwayat_buddha_1
- http://media.isnet.org/iptek/100/Buddha.html

4 komentar:

  1. http://taipanqqculinary.blogspot.com/2018/02/lezatnya-spaghetti-pelangi-bekal-unik.html
    http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/02/akhir-pelarian-pencuci-uang-terbesar-di.html
    http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/02/imbas-longsor-kai-hentikan-operasi.html

    QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus